Kata Muzdalifah adalah kata yang terambil dari asal kata zalafa atau izdalafa yang berarti mendekat atau bergabung. Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa suatu ketika Malaikat Jibril berkata kepada Nabi Ibrahim Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam “Wahai Ibrahim, mendekatlah engkau ke Masy’aril Haram. “Nabi Ibrahim Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun mendekat maka tempat itu disebut Muzdalifah.
Nama lain dari Muzdalifah adalah Jam’in, karena manusia datang berkumpul ke tempat ini. Jam’in sendiri artinya berkumpul. Juga karena ditempat ini salat maghrib dan isya’ di jama. Muzdalifah keseluruhannya adalah mauquf (tempat wukuf/mabit), kecuali Wadi Al-Muhassir.
Terletak di antara Arafah dan Mina, dengan batasnya dari Wadi Muhassir sampai al-Ma’zamain (2 gunung yang saling berhadapan yang dipisahkan oleh jalan) sepanjang 4 km lebih. Luas seluruhnya mencapai 12.25 km². Terdapat rambu-rambu yang menandai batas permulaan dan akhir dari bagian Muzdalifah.
Tempat ini termasuk Masy’ar yakni salah satu tempat yang ditetapkan sebagai area pelaksanaan manasik haji dalam wilayah Tanah Haram. (Tarikh Makkatal Mukarramah: 113)
Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani memaparkan, “Al-Muzdalifah adalah tempat antara Arafah dan Mina, di mana para jemaah haji melakukan mabit setelah mereka wukuf di Arafah. Terletak di antara Makzamai Arafah (jalan di antara 2 gunung kecil di Arafah) yang disebut al-Madhiq (jalan yang sempit) dan Wadi Muhassir dari arah Mina.
Panjang antara 2 batas ini ialah 4.370 m. Adapun Masy’aril Haram adalah sebuah tempat yang dinamakan Quzah, berada di tengah-tengah Muzdalifah. Inilah tempat yang disunahkan bagi jemaah haji untuk melakukan mabit.
berdoa kepada Allah Ta’ala, berzikir dan bersyukur kepada-Nya. Mabit di bagian mana saja diperbolehkan akan tetapi mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang mulia dan meniru apa yang diperbuatnya adalah disukai, marghubun dan dipandang mandzubun, sunah. (Fi Rihabil Baitil Harami: 290)
Hal ini Allah sebutkan dalam firman Allah yang Artinya, “….maka apabila kamu bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram…” (QS.al-Baqarah [2]: 198)
Yang dimaksud Masy’aril Haram ialah Bukit Quzah yang berada di Muzdalifah. Menurut Ibnu Umar bahwa yang dimaksud dengan Masy’aril Haram dalam ayat tersebut ialah Muzdalifah secara keseluruhannya.
(Tafsir Ibnu Katsir I: 352)
Sebagaimana yang dikemukakan dalam buku “Allimuni Yakaum Kaifa Ahujju” yakni “Mabit di Muzdalifah adalah hadir baik dalam keadaan berdiam diri (berhenti) atau melewatinya tidak dalam keadaan tidur, atau berhenti sekalipun sebentar. Tidak disyaratkan harus mengetahui tempat ini sekalipun melewatinya dalam hal mencari orang yang memiliki utang piutang, atau mencari budak yang melarikan diri, atau melewati Muzdalifah dalam keadaan tidur, maka mabitnya mencukupi dan sah secara hukum”.
Usai wukuf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah sore hari (setelah terbenam Matahari), para jemaah berbondong-bondong meningggalkan Tanah Arafah menuju Mudzalifah untuk melaksanakan mabit. Sepanjang dalam perjalanan di sunahkan banyak berzikir sambil mengumandangkan kalimat Talbiyah, bisa juga bertakbir (karena malam itu adalah hari nahar atau malam lebaran)
Dalam kesempatan mabit di Muzdalifah itu dianjurkan untuk memilih dan mengambil batu krikil sesuai dengan kebetulan, 49 buah bagi yang nafar awal dan 70 butir bagi nafar tsani, atau sekurang-kurangnya 7 butir untuk alat melontar Jamrah Aqabah saja pada keesokan harinya.
Sedangkan kekurangannya bisa mengambil di Mina. Utamanya, mabit itu semalam suntuk. Setelah terbit fajar, lakukan salat subuh, lalu menuju Masy’aril Haram untuk wukuf (berdiam), kemudian setelah suasana terang, sebelum matahari terbit, bertolak ke Mina.
Masjid Masy’aril Haram
Masjid Masy’aril Haram terletak di kawasan Tanah Muzdalifah, tepatnya berada di tengah perjalanan antara Arafah dan Mina. Jika dari Arafah menuju Mina, masjid ini terletak di jalur nomor 5. jarak antara Masjid Masy’aril Haram dengan Masjid al-Khaif di Mina kurang lebih 5 km dan jarak dengan Masjid an-Namirah di Arafah kurang lebih 7 km.
Sebagai salah satu syarat wajib haji, maka jemaah haji diwajibkan untuk bermalam atau melewati Muzdalifah dan disunahkan memungut batu kecil untuk persiapan melempar Jamrah di Mina.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah singgah dan salat di tempat ini (Muzdalifah) saat melaksanakan haji wada’ bersama para sahabat dan di tempat inilah dibangun sebuah masjid yang dinamakan Masjid Masy’aril Haram atau lebih dikenal dengan Masjid Muzdalifah karena keberadaannya yang berada di Muzdalifah.
Awalnya luas utama masjid ini sekitar 1.700 m² yang pada periode Abbasiyah mencapai 4.000 m². Masjid pada saat itu tidak memiliki atap dan hanya diberi pagar di sekelilingnya. Setelah beberapa kali rekonstruksi dan pembangunan, sekarang dalam bentuk persegi panjang yang luas areanya sekitar 6.000 m². Saat ini Masjid Masy’aril Haram sudah dipugar menjadi masjid yang cukup mewah dan besar yang bisa menampung kurang lebih 12.000 Jamaah Haji.
Muzdalifah – Doa Ketika Sampai di Muzdalifah
أَللَّـهُمَّ إِنَّ هَذِهِ مُزْدَلِفَةُ جُمِعَتْ فِيْهاَ أَلْسِنَةٌ تَسْأَلُكَ حَواَئِجَ مُتَنَوِّعَةً فاَجْعَلْنِى مِمَّنْ دَعاَكَ فاَسْتَجَبْتَ لِهُ وَتَوَكَّلَ عَلَيْكَ فَكَفَّيْتَهُ ياَ اَرْحَمَ الرَّحِمْيْنَ
“Allahumma inna hazihi muzdalifatu jumi ’at fiha alsinatun mukhtalifatun tas’aluka hawa’ija mutanawwi’atan, faj’alni mim man da’aka fastajabta lahu wa tawakkala ‘alaika fakafaitahu ya arhamar-rahimin”
Ya Allah, sesungguhnya ini Muzdalifah telah berkumpul bermacam-macam bahasa yang memohon kepada-Mu hajat keperluan yang aneka ragam. Maka masukkanlah aku ke dalam golongan orang yang memohon kepada-Mu, lalu orang yang memohon kepada-Mu, lalu Engkau penuhi permintaannya, yang berserah diri pada-Mu lalu Engkau lindungi dia. Wahai Tuhan yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih.