pt jannah firdaus logo 1
Padang Arafah

Wukuf di Padang Arafah

Padang Arafah – Arafah bisa juga diucapkan ‘Arafat. Kata ‘Arafat adalah bentuk mufrad (singular), dengan lafazh jama’ (plural) al-Qur’an menggunakan lafal jamak ini (lihat: QS. Al-Baqarah [2] : 198) Arafah atau ‘Arafat adalah nama suatu tempat, yang diucapkan dengan lafal jamak meskipun tempatnya satu, hal itu karena semua sudut di tempat ini dinamakan Arafah.

Memang ada juga Ulama yang membedakan makna dan pengertian antara dua kata itu, yakni Arafah dengan lafazh mufrad maksudnya adalah hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), sedangkan ‘Arafat dengan lafazh jama’ maksudnya adalah tempat, yaitu kawasan bumi Arafah yang menjadi tempat puncaknya pelaksanaan ibadah haji.

Padang Arafah

Padang Arafah merupakan suatu kawasan tanah yang lapang, datar, gersang nan tandus yang berada pada ketinggian 750 kaki di atas permukaan laut, terletak di sisi timur Kota Suci Makkah yang berjarak sekitar 25 km dengan luas sekitar 3,5 x 3,5, km atau mencapai 17,95 km² Sumber lain menyebutkan bahwa luas Padang Arafah sekitar 2 x 4 km atau sama dengan 800 hektar. Sehingga, jika dihitung rata-rata setiap 1 m² ditempati oleh 1 orang jemaah. Maka dengan begitu, Padang Arafah dapat mampu menampung sebanyak 8.000.000 Jemaah Haji.

Pada tahun 1970-an, pemerintah Arab Saudi melakukan penghijauan dengan menanam pohon-pohon yang dapat menjadi pelindung dari sengatan sinar matahari. Sehingga saat ini suasananya sudah tidak terlalu panas.
Konon, penghijauan itu juga dipelopori oleh bapak Ir. Soekarno Presiden Republik Indonesia yang pertama, saat melakukan kunjungan beberapa tahun sebelumnya.

Kini suasananya telah berubah. Walaupun sengatan sinar matahari tetap selalu ada karena memang iklimnya seperti itu, akan tetapi kenyamanan dapat dinikmati dan dirasakan oleh para jamaah haji, sebab pemerintah Kerajaan Arab Saudi senantiasa selalu berupaya meningkatkan pelayanannya kepada seluruh Dhuyufur Rahman-para tamu Allah.

Selain melakukan penghijauan dengan menanami pepohonan yang rindang, juga telah melengkapi Padang Arafah dengan sarana dan prasarana yang modern, pembangunan infrastruktur yang canggih. Diantaranya adalah dengan dipasangnya tiang-tiang air yang pada ujung puncaknya terdapat spuyer-spuyer kecil yang menyemburkan air sehingga dapat dirasakan oleh para jemaah haji bagaikan hujan gerimis.

Proyek penyejuk udara ini dibangun dan selesai pada tahun 1414 Hijriah dengan cara menyemprotkan air ke berbagai penjuru menggunakan mesin pompa yang berkekuatan 15 tenaga kuda, hal ini dapat menghasilkan kira-kira 140 m per jam. Sedangkan pohon yang telah ditanam untuk menciptakan kesejukan, sudah ada sebanyak 100.000 pohon. MasyaAllah!

Di sebelah timur berbatasan dengan pegunungan Thaif, sebelah utaranya membujur rangkaian bukit-bukit tinggi setinggi 200 kaki (30 m) yang dinamakan Bukit Arafah. Sebelah barat adalah Wadi ‘Urunah (lembah) dan di bagian selatannya adalah Jabal Rahmah. Untuk diperhatikan bagi para pembaca, bahwa Jabal Rahmah termasuk bagian dari wilayah Arafah, sedangkan Wadi ‘Urunah bukan bagian dari kawasan Arafah, sehingga bagi jamaah haji yang wukuf di Wadi ‘Urunah dianggap tidak sah hajinya.

Sementara dalam ilmu fiqih, Padang Arafah adalah Tanah Halal (bukan termasuk Tanah Haram), dan Wadi ‘Urunah itulah yang membatasi antara Arafah dengan Tanah Haram Makkah. Meskipun demikian, batas-batasnya telah ditentukan secara tepat dalam berbagai periode sejarah dengan menggunakan tanda dan plang. Seperti yang telah disebutkan di atas, pemberian nama Arafah berkaitan dengan penamaan hari-hari.

Seperti hari ke-8 Dzulhijjah disebut dengan hari Tarwiyah yang berarti merenung atau berpikir. Hal ini erat kaitannya dengan peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim, yaitu pada hari Tarwiyah inilah Nabi Ibrahim bermimpi mendapatkan perintah untuk menyembelih anaknya-Ismail Pada malam itu sampai esoknya, Nabi Ibrahim sangat gelisah, bahkan terus menerus merenung dan berpikir, mempertanyakan apakah mimpinya itu berasal dari Allah atau malah dari setan. Karena dengan diselimuti rasa ragu itulah, Nabi Ibrahim tidak serta merta langsung melaksanakan perintah yang ada dalam mimpinya.

Kemudian pada malam ke-9, Nabi Ibrahim bermimpi bertemu Malaikat yang kembali mengingatkan dengan perintah yang sama. Setelah mimpi yang kedua inilah Nabi Ibrahim baru yakin bahwa mimpinya itu merupakan wahyu dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, hari ke-9 dinamakan hari Arafah yang dalam bahasa Arab berarti mengetahui.

Pada malam hari ke-10, Nabi Ibrahim bermimpi lagi untuk ketiga kalinya dengan mimpi yang sama pula. Maka keesokan harinya (10 Dzulhijah) Nabi Ibrahim melaksanakan perintah itu, karena itu disebut dengan hari Nahar yang berarti hari penyembelihan. Semenjak dahulu, Arafah adalah salah satu dari jalan-jalan yang dilalui bangsa Arab untuk menuju ke Thaif. Di sepanjang perjalanan, ada sebuah sungai yang airnya mengalir dari Thaif sampai ke Makkah melalui Arafah. Sungai kecil ini mereka namakan dengan ‘Ain Zubaidah (Mata Air Zubaidah), karena yang membangunnya adalah Zubaidah Khatoon yang merupakan istri Harun ar-Rasyid.

Disebutkan dari bebagai sumber bahwa seorang bernama Jawad Isfahani yang berasal dari Iran dalam beberapa periode itu memiliki peran dalam membawa air dari jalan Arafah ke Kota Suci Makkah dan juga membuat beberapa pelayanan di Padang Arafah.

Menurut riwayat, Arafah dikaitkan dengan Dahw al-Ardh, yang mana ia bersama Ka’bah dan Mina merupakan salah satu tempat di mana bumi telah berkembang dari sana. Dalam beberapa riwayat pula, penamaan Arafah sangat erat kaitannya dengan sejarah perjuangan Nabi Ibrahim Konon, ribuan tahun yang lampau ketika Nabi Ibrahim dan putranya Ismail selesai membangun Ka’bah, oleh Malaikat Jibril disuruh tawaf mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 putaran.

Kemudian diajari tentang manasik haji mulai dari Shafa, Marwah, Mina, Muzdalifah, serta Arafah. Di kawasan Arafah (sekarang) ini, Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi Ibrahim As, dengan mengatakan, “(apakah engkau telah mengerti?), Wahai Ibrahim”. Lalu Nabi Ibrahim menjawab, “Na’am, ‘Araftu (Ya, aku telah mengerti)”, dengan mengacu pada pertanyaan Jibril itulah, daerah tersebut dinamakan Arafah.

Dalam versi lain disebutkan juga bahwa di tempat ini diyakini sebagai tempat pertemuan (ta’arafah) atau saling mengetahui, bertemu kembali antara Nabi Adam dan Siti Hawa, tepatnya di atas Jabal Rahmah, Demikian juga disebut Arafah, karena tempat ini merupakan tempat di mana kaum Muslimin saat musim haji mengakui (i’tiraf) kesalahan-kesalahan mereka dan memohon ampun kepada Allah dengan sebenar-benarnya.

Dalam Al-Qur’an ketika hukum-hukum dan adab-adab haji disebutkan. Nama Arafah juga disebutkan, Allah Ta’ala berfirman:

Artinya, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS. al-Baqarah [2]: 198)

Para Ulama sepakat bahwa wukuf di Padang Arafah adalah rukun yang paling pokok (utama) dan puncak yang paling agung dalam rangkaian ibadah haji. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,

“Puncak ibadah haji itu (dengan melakukan) wukuf di Arafah. Barangsiapa yang wukuf sebelum terbit fajar (tanggal 10 Dzulhijjah) maka wukufnya dianggap sah.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Hadis di atas adalah rentang waktu wukuf, jadi bukan berarti bahwa orang yang berwukuf harus berada di sana sepanjang hari dan malam itu. Sebab, keberadaan seseorang di Padang Arafah pada tanggal dan hari itu, walaupun hanya sejenak tetap sudah dipandang cukup dan wukufnya sah.

Wukuf harus dilaksanakan dalam wilayah Padang Arafah, di tempat mana pun asalkan masih di bagian Padang Arafah. Jika di luar itu, termasuk dalam hal ini Wadi ‘Urunah, maka wukufnya tidak sah. Tempat yang paling afdhal adalah di Shaharat, di kaki Jabal Rahmah. Sebab, di tempat inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam wukuf seraya bersabda,

“Aku wukuf di sini (Shaharat), dan seluruh Arafah adalah tempat wukuf.”

Imam al-Mawardi (wafat pada tahun 450 H/1058 M) menganjurkan bagi jemaah haji agar naik ke Jabal Rahmah lalu berdoa karena di tempat inilah para nabi melakukan wukuf. Akan tetapi, pendapat ini dibantah oleh Imam Haramain (fuqaha’ di kalangan Mazhab Syafi’i) seraya mengatakan bahwa mendaki Jabal Rahmah bukan merupakan suatu ibadah, walaupun banyak juga orang yang melakukannya.

Sepanjang yang penulis ketahui, penulis sepakat dengan merujuk pada buku “Ensiklopedia Haji dan Umrah” karangan KH. A. Chodri Romli, bahwa naik Jabal Rahmah memang tidak disyariatkan apalagi wukuf diatasnya. Meskipun hanya sekadar naik dan tidak melakukan ritual apapun, tidak mengapa, karena ia juga tidak pernah mendapat qaul yang melarangnya.

Padang Arafah Jamaah Haji

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest