Selain membahas Mina, artikel ini juga akan membahas Masjid-Masjid dan sejarahnya yang berada di Mina seperti Masjid Al-Kabsy, Masjid al-Khaif dan Masjid al-Bai’ah.
Mina yang orang Arab sendiri biasa menyebutnya Muna yang artinya secara harfiah ialah pengharapan, optimisme. Konon, menurut suatu riwayat, tempat ini dinamakan Mina karena setelah 200 tahun Nabi Adam Alaihi Salam dengan berjalan kaki dari al-Hindi (India sekarang) mencari istrinya Siti Hawa, sampai di lokasi ini mendengar bisikan bahwa ia akan segera berjumpa dengan istri yang sangat dirindukannya.
Mendapat bisikan itu, Nabi Adam Alaihi Salam semakin bersemangat dan berharap tinggi (optimis) akan berjumpa dengan istrinya. Dan memang tak lama kemudian, mereka saling berjumpa di Jabal Rahmah – Arafah. Oleh karenanya, kawasan itu disebut dengan Mina atau Muna, yakni penuh pengharapan.
Mina terletak di kawasan Tanah Haram antara kota Makkah dan Muzdalifah, dengan jarak ± 7 km dari Masjidil haram, dan hanya 4 km jika melalui terowongan (tunnel). Tentang ketentuan batas-batas wilayah Mina, memang tidak ada nash (kepastian hukum) dari al-Qur’an maupun al-Hadis. Ini bukan berarti Tuhan lupa, tetapi memang dibuat demikian, sehingga ia menjadi objek ijtihad.
Mina adalah salah satu Masy’aril al-Muqaddasah yang terdekat dengan Masjidil haram, terletak di arah timurnya dengan jarak 4 km luasnya diperkirakan 6,35 km². Selain keterangan tersebut, penamaan Mina juga karena beberapa sebab.
Diantaranya, karena banyaknya hadyu (kambing yang disembelih sebagai kurban atau dam) sehingga banyak darah yang tertumpa di sini. Keutamaan kota Mina menurut beberapa riwayat, yakni:
- Mina sebagai Masy’aril Haram (tempat penyelenggaraan sebagian dari manasik haji yang lokasinya berada di Tanah Haram)
- Tempat Allah mengirim kambing (Kibas) kepada Nabi Ibrahim sebagai ganti sembelihan putranya-Ismail.
- Surah an-Nashr diturunkan di Mina saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam nunaikan haji wada’.
- Surah al-Mursalat juga diwahyukan ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berada di dalam Gua yang letaknya berada dibelakang Masjid al-Khaif, dan kemudian Gua itu disebut Gua Mursalat.
- Mina adalah Masy’ar yang paling lama ditempati jemaah haji selama pelaksanaan rangkaian ibadah haji. Tanggal 8 Dzulhijjah jamaah haji datang untuk melaksanakan salat maktubah yang dikenal dengan Hari Tarwiyah. Tanggal 10, sehari setelah wukuf di Arafah, para hujjaj (jemaah haji) datang lagi di Mina untuk melontar Jamrah Aqabah, dilanjutkan dengan mabit. Tanggal 11 masih di Mina, melontar Jamarat, dan mabit pada malam harinya, dilanjutkan tanggal 12 dan 13 Dzulhijjah, barulah kemudian meninggalkan Mina dan bertolak ke Makkah.
Mabit di Mina
Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, apabila sempit suatu persoalan, maka menjadi luas. Dalam konteks Mina, bukan permasalahannya saja yang sempit, tetapi lokasi itu sendiri yang terasa “menjadi sempit” karena melimpah-ruahnya jemaah haji yang mendatangi Mina untuk melaksanakan mabit.
Sejak tahun 1984 Masehi, pemerintah Arab Saudi telah menetapkan bahwa Haratul Lisan termasuk wilayah pengembangan Mina, yang secara hukum dianggap “sah” sebagai tempat mabit. Kemudian pemerintah Arab Saudi telah menetapkan pula bahwa Haratul Lisan sebagai tempat mabit bagi jamaah haji Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya (Malaysia, Singapore, Thailand, Fhilipina, Brunei Darussalam, dan lainnya).
Tahun 2001 Masehi, pengembangan wilayah mabit diperluas hingga ke Muzdalifah yang kini dikenal dengan nama Mina Jadid (Mina Baru) Hukum Mabit di Mina Jadid ini “sah” karena kemahnya bersambung, sesuai dengan Fatwa Mufti Makkah dan Hasil Keputusan Mudzakarah Ulama tentang mabit di luar kawasan Mina, tanggal 10 Januari 2001.
Mina – Doa Ketika Sampai di Mina
أَللَّـهُمَّ هَذاَ مِنَى فاَمْنُنْ عَلَيَّ بِماَ مَنَنْتَ بِهِ عَلَى أَوْلِياَئِكَ وَأَهْلِ طاَعَتِكَ
“Allahumma haza mina famnun ‘alayya bima mananta bihi ‘ala auliya’ika wa ahli ta’atik”
Ya Allah, tempat ini adalah Mina, maka anugerahilah aku apa yang Engkau telah anugerahkan kepada orang-orang yang selalu dekat dan taat kepada-Mu.
Muhassab
Al-Muhassab adalah daerah aliran air antara Makkah dan Mina yang diduga adalah kawasan yang sekarang disebut Aziziyah. Para jemaah haji ketika bertolak dari Mina (setelah nafar), disunahkan singgah di tempat ini. Jadi, tidak terus langsung kembali ke kota Makkah.
Abu Rafi’ (sahabat yang membawa perbekalan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam), berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak menyuruhku untuk singgah di Abtah (nama lain dari Muhassab), tetapi aku membuat tenda di sana, lalu beliau datang dan singgah.
Sayyidatuna Aisyah menceritakan tentang singgahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di Muhassab itu, lalu beliau bersabda, “Siapa yang ingin singgah di sana dapat melakukannya, dan siapa yang tidak ingin singgah, ya tidak mengapa”.
Jabal Qurban
Jabal Qurban adalah sebuah gunung yang terletak di Tanah Mina. Lokasinya berada sekitar 200 m dari tempat tinggal Nabi Ibrahim. Selain Jabal Qurban, tempat ini memiliki nama lain, yaitu Jabal Thubair. Di tempat inilah, Nabi Ibrahim diperintahkan untuk membawa Nabi Ismail-putranya, untuk dieksekusi (menyembelih)
Saat ini, Jabal Qurban menjadi tempat jagal pemotongan hewan kurban bagi jemaah haji yang membayar Dam dan sebagainya. Biasanya jemaah haji yang memilih untuk melakukan Mabit di Mina akan mengunjungi
tempat ini. Di sinilah jutaan hewan disembelih.
Jemaah Haji yang datang ketempat ini dipersilakan mengambil daging hewan yang telah disembelih sebanyak yang mereka bisa. Tidak ada larangan sama sekali. Karena itu, tidak jarang kita melihat seorang jemaah yang memanggul seekor kambing atau domba yang sudah dikuliti.
Saat ini banyak juga daging yang dipotong di Jabal Qurban kemudian diproses dalam bentuk kalengan. Biasanya akan diberikan kepada negara Islam yang terkena musibah. Jadi, daging-daging kurban tersebut bisa dinikmati dan dapat memberikan manfaat bagi mereka yang membutuhkan.
Masjid Al-Kabsy
Masjid Al-Kabsy – Pada zaman dulu, begitu jemaah haji tiba di Mina, di tempat-tempat melempar batu atau yang disebut dengan istilah Jamarat, pertama-tama yang dicari jemaah adalah tempat penyembelihan kurban oleh Nabi Ibrahim yang letaknya di antara 2 Jamrah Shughra’ (ula/pertama) dan Jamrah Wustha’ (kedua/tengah), walaupun saat ini tempat tersebut sudah tidak kelihatan lagi bekasnya.
Menurut beberapa sumber mengatakan bahwa Rasulullah menyembelih kurbannya di tempat Nabi Ibrahim menyembelih kurban dombanya sebagai tebusan dari kurban penyembelihan anaknya-Nabi Ismail Diriwayatkan dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda,
“Batu karang yang terletak di Mina yang berasal dari Tsabir adalah batu yang telah diketahui bahwa Nabi Ibrahim menyembelih dombanya sebagai tebusan dari anaknya Ismail Domba itu turun dari Tsabir lalu disembelihnya oleh Nabi Ibrahim”.
Kemudian di tempat itu dibangun sebuah masjid oleh Lubabah putri Ali bin Abdullah bin Abbas. Masjid ini termasuk ke dalam salah satu dari tujuh masjid yang bersejarah di Tanah Mina. Namun, kondisi saat ini semuanya habis dibongkar dan yang tersisa hanya Masjid al-Khaif.
Masjid-masjid yang telah dibongkar itu, dipergunakan untuk perluasan dan pelebaran jalan menuju ke Jamarat. Konon Masjid al-Kabsy atau Masjid an-Nahr ini pernah dipugar oleh Raja Quthbuddin Abu Bakar bin al-Manshur dari negeri Yaman pada tahun 645 Hijriah.
Masjid Al-khaif Mina
Kata Khaif secara bahasa mengacu pada kaki gunung atau tempat yang rendah di antara 2 gunung atau letaknya lebih tinggi dari area tanah sekitarnya. Oleh karena itu, masjid yang dibangun di kaki Gunung Shabih (Shafa’ih) bagian selatan Mina ini diberi nama Masjid al-Khaif.
Luas masjid saat dibangun pertama kali sekitar 1.500 m². Pada tahun 5 Hijriah / 626 Masehi, di tempat ini orang-orang kaum Musyrikin Makkah melalui ajakan kelompok Yahudi menyepakati perjanjian koalisi dengan beberapa Kabilah Arab untuk menyerang Madinah dengan maksud untuk melenyapkan Islam dari akar-akarnya.
Serangan tersebut dikenal dalam sejarah dengan nama Perang Khandaq. Masjid al-Khaif adalah masjid yang paling utama di Tanah Mina yang diyakini bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melaksanakan salat di dalamnya serta menyampaikan salah satu dari khutbahnya yang terkenal yaitu khutbah Hajjatul Wada’.
Menurut sebuah hadis bahwa pada saat Haji Wada’, Yazid bin al-Aswad al-Amiri berkata, “Aku ikut bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada saat waktu haji wada’, dan kami salat Subuh bersama beliau di Masjid al-Khaif.” (HR.Ahmad)
Tempat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendirikan shalat di masjid ini terletak di depan menara bangunan sekarang yang di masa lalu dibangun sebuah kubah besar di atasnya. Diriwayatkan dari Imam Shadiq, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menghimbau kepada kaum Muslimin untuk melaksanakan salat di masjid ini dan berzikir 100 kali tasbih, tahlil serta tahmid, karena memiliki ganjaran pahala yang besar. Kemudian melarang mengambil kerikil atau batu kecil yang hendak dipergunakan untuk melontar Jamrah dari masjid ini.
Masjid ini jaraknya tidak terlalu jauh dari Jamrah Shugra (Jamrah ‘Ula) Kapan tepatnya masjid ini dibangun, tidak ada catatan sejarah yang bisa dipertanggung jawabkan. Hanya saja ada yang menyebut bahwa masjid ini dibangun pertama kali pada masa pemerinatahan Bani ‘Abbasiyah, yang pasti Masjid al-Khaif memiliki berbagai keistimewaan.
Hal ini sebagaimana yang tergambar dalam beberapa riwayat, yaitu Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Telah salat di Masjid al-Khaif sebanyak 70 Nabi, di antara mereka Nabi Musa Alaihi Salam, seolah-olah aku melihatnya memakai 2 pakaian ihram yang terbuat dari katun, ia berihram di atas unta.” (HR.al-Mundhiri) (kitab at-Targhib wa at-Tarhib) Dalam literatur Ahlus Sunah disebutkan juga bahwa Nabi Adam bersama dengan 70 nabi lainnya di makamkan di masjid ini.
Pada tahun 240 Hijriah / 854-855 Masehi, dengan terjadinya banjir besar, kondisi masjid ini rusak parah yang kemudian direnovasi kembali. Untuk mencegah terjadinya kerusakan kembali, disekitar bangunan masjid didirikan tanggul sebagai pencegah banjir. Panjang masjid ini pada masa itu adalah 120×55 m dengan total luas keseluruhan area lebih dari 6.380 m² yang membuat masjid ini tercatat sebagai masjid terbesar di jazirah Arab termasuk lebih luas dari Masjidil haram di masa itu.
Kumudian setelah kembali mengalami kerusakan parah pada tahun 874 Hijriah / 1470. Oleh Sultan Qaitabai salah seorang Raja Mamluk’ di Mesir, masjid ini direkontrusksi dengan membuat dindingnya dari batu dan plester. Demikian pula di atas Mihrab dibangun sebuah kubah besar, dan kubah lainnya di tengah masjid. Beberapa bagian dari bangunan lama masih terjaga dalam beberapa dekade terakhir, termasuk seperempat dinding yang memiliki sebuah menara yang dikenal dengan nama Maqam Ibrahim.
Mamluk atau Mamalik adalah bani budak belian kastra kesatria yang dimiliki oleh Khalifah Islam yang berkuasa. Meskipun para Mamluk adalah belian namun status mereka di atas budak biasa, yang mana budak biasa tidak diperkenankan membawa senjata dan juga dilarang melakukan aktivitas tertentu.
Renovasi kembali dilakukan pada tahun 1392 Hijriah / 1972 Masehi, dengan membangun beberapa rawaq (beranda atau halaman) yang membuat luas total masjid menjadi sekitar 23.660 m².
Pada tahun 1407 Hijriah / 1987 Masehi, dimulai lagi proyek perluasan dan penyempurnaan bangunan masjid hingga mencapai 25.000 m². Saat ini, masjid ini memiliki 4 menara dengan jarak sangat jauh antara satu sama lain dan menghadirkan pemandangan yang indah di sisi gunung dalam perjalanan menuju Jamarat.
Masjid al-Khaif mewakili dari pada masjid-masjid bersejarah dalam Islam serta melambangkan syi’ar Islam yang menonjol di kawasan Mina. Sekarang, masjid ini hanya dibuka pada hari-hari saat menetap di Mina dan ditutup hampir sepanjang tahun. Tidak sedikit jemaah haji dari seluruh pelosok dunia mengunjungi masjid ini untuk mengambil berkahnya karena masjid ini memiliki banyak keistimewaan.
Masjid Al-Bai’ah Mina
Masjid Al-Bai’ah dikenal sebagai Masjid ‘Aqabah Hill. Lokasinya terletak di Mina, kira-kira 500 m dari Jamrah Aqabah. Dulunya masjid ini berada di dekat salah satu Gunung Tsabir. Namun, setelah gunung itu dibongkar, masjid ini menjadi tampak dan terpisah dari gunung itu. Jika kita dari Jamarat (Mina) berjalan menuju Makkah dengan melalui jembatan, maka Masjid al-Baiah berada di sebelah kanan ujung jembatan tersebut, posisinya sudah mendekati ‘Aziziyah.
Masjid al-Bai’ah dibangun pada masa Dinasti Abbasiyah, menurut sumber masjid ini dibangun untuk menghormati ‘Abbas bin Abdul Muthalib Masjid ini dibangun di tempat terjadinya peristiwa Bai’atul Aqabah sebagai penghormatan atas terjadinya Baiatul Aqabah, ke-1 dan ke-2 antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan kaum Anshar sebelum hijrahnya beliau ke (Yastrib) Madinah.
Namun sebagian orang menganggap bahwa masjid ini dibangun oleh kaum jin, saat mereka melakukan pembaiatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Akan tetapi anggapan tersebut tidak bisa dipertanggung jawabkan, karena Masjid al-Jin memang ada di Kota Suci Makkah yang letaknya tidak jauh dari Masjidil haram.
Pada saat terjadi pembaiatan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ditemani ‘Abbas bin Abdul Muththallib yang belum beriman. Meski demikian, ia sangat menjaga keselamatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Pada saat itu, baiat di ‘Aqabah terjadi 2 kali.
Baiat ‘Aqabah pertama yang terjadi tahun 621 M, yaitu perjanjian antara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan 12 orang dari Yatsrib yang kemudian mereka memeluk agama Islam. Baiat ‘Aqabah ini terjadi pada tahun ke-12 setelah kenabian.
Kemudian mereka berbaiat (bersumpah setia) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Adapun isi baiat tersebut bahwa penduduk Yatsrib tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun. Mereka akan melaksanakan apa yang Allah perintahkan serta mereka akan meninggalkan apa yang menjadi larangan Allah.
Setahun kemudian, yakni tahun 622 M, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kembali melakukan pembaiatan di ‘Aqabah. Kali ini perjanjian dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam terhadap 73 orang lelaki dan 2 orang wanita dari Yatsrib. Wanita itu adalah Nusaibah bintu Ka’ab dan Asma’ binti ‘Amr bin ‘Adiy. Perjanjian ini terjadi pada tahun ke-13 kenabian. Mush’ab bin Umair yang ikut berbaiat pada Baiat ‘Aqabah pertama kembali ikut bersamanya beserta dengan penduduk Yatsrib yang sudah terlebih dahulu masuk kepada agama Islam.
Pada suatu malam saat itu mereka menjumpai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di ‘Aqabah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam datang bersama ‘Abbas bin Abdul Muthallib. Pada saat itu ‘Abbas masih dalam keadaan musyrik, namun ia ingin menjaga keselamatan anak saudaranya yakni Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Ketika itu, ‘Abbas menjadi orang pertama yang angkat bicara kemudian disusul oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang membacakan beberapa ayat al-Qur’an dan menyerukan tentang Islam.
Kemudian orang-orang Yatsrib itu membaiat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Isi baiatnya adalah mereka akan mendengar dan taat, baik dalam perkara yang mereka sukai maupun yang mereka benci. Mereka akan berinfaq, baik dalam keadaan sempit maupun lapang. Mereka akan ber-amar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka juga berjanji agar mereka tidak terpengaruh celaan orang-orang yang mencela di jalan Allah. Serta mereka berjanji akan melindungi Rasulullah sebagaimana mereka melindungi para wanita dan anak mereka sendiri.
Setelah baiat itu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kembali ke kota Makkah untuk meneruskan dakwahnya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendapatkan gangguan dari kaum musyrik kepada kaum Muslimin yang dirasa semakin keras. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam perintahkan kepada kaum Muslimin untuk berhijrah ke (Yatsrib) Madinah. Baik secara sendiri-sendiri, maupun berkelompok.
Mereka berhijrah dengan sembunyi-sembunyi, sehingga kaum Musyrikin tidak mengetahui peristiwa hijrah mereka. Oleh karena peristiwa bersejarah inilah, tempat tersebut di abadikan dan namanya dijadikan sebagai nama Masjid al-Bai’ah.
Menurut sejumlah sumber yang diperoleh, Masjid al-Bai’ah memiliki ukuran 375 m² atau 15×25 m dengan tinggi sekitar 7 m, dinding bagian belakang 2 m ini ditemukan sekitar tahun 2006 lalu. Sebelumnya, masjid yang tertimbun ini hanya diketahui kalangan terbatas karena letaknya yang terpencil.
Tidak seperti masjid pada umumnya, masjid kuno berwarna krem ini dikelilingi pagar besi berwarna hitam dan dikunci gembok. Sehingga para peziarah atau jemaah haji tidak bisa melakukan salat di dalam masjid ini, akan tetapi jemaah haji dapat melakukan salat di Masjid al-Khaif tidak jauh dari Jamarat. Selain itu, masjid ini pun tidak memiliki tempat wudhu atau toilet. Namun begitu, para pengunjungnya masih bisa melihat kondisi dari luar atau melihat sebagian ruangan dari jendela yang memang dibiarkan terbuka.
Dahulu, masjid ini sempat terkubur tanah selama ratusan tahun. Namun dalam proses pembangunan Jamarat secara besar-besaran, bulldozer (jenis peralatan konstruksi bertipe traktor) yang melakukan pengerukan tanah terantuk batu yang sangat keras. Setelah diteliti ternyata batu keras tersebut merupakan masjid. Maka, masjid itu dibiarkan seperti apa adanya.
Meski demikian, masjid ini tidak difungsikan sebagaimana masjid pada umumnya, hanya sebagai tempat berziarah bagi jemaah. Kendati demikian, bentuk masjid ini tetap dipelihara. Misalnya tempat imam salat diberi sajadah. Demikian pula 2 shaf di belakang imam. Semua sajadah dibiarkan kotor dan berdebu, karena memang tidak digunakan. Di tempat imam juga terdapat tempat menaruh microphone, sehingga terkesan masjid ini aktif digunakan, dan di beberapa sudut bangunan masjid ini terdapat tempat al-Qur’an.
Inilah peninggalan sejarah yang dihargai oleh pemerintah Arab Saudi. Padahal, pemerintah Arab Saudi mampu untuk membangunkan struktur bangunan yang lebih cantik dan lebih megah jika tidak memikirkan nilai sejarahnya, dengan begitu Masjid al-Bai’ah dibiarkan dengan seadanya.